JAKARTA, DDTCNews—Pajak sebagai instrumen pemulihan ekonomi memiliki dua peran penting, yaitu sebagai instrumen untuk stabilitas dan pemulihan ekonomi serta untuk memenuhi target penerimaan pajak.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta Dianwicaksih Arieftiara mengungkapkan hal tersebut dalam webinar series DDTC bertajuk ‘Peran Pajak dalam Pemulihan Perekonomian Indonesia‘.
“Keduanya penting untuk memenuhi dana yang diperlukan guna memulihkan ekonomi. Bila ekonomi tetap terjaga maka penerimaan juga terjaga. Alhasil, pemerintah juga memiliki kekuatan mendanai berbagai kebijakan,” katanya, Jumat (21/8/2020)
Meski begitu, lanjut Dianwicaksih, insentif yang disediakan pemerintah justru mengalami anomali. Salah satu bentuk anomali tersebut di antaranya penyerapan insentif pajak hingga Juni 2020 yang belum maksimal.
Dia pun memberikan enam solusi yang dapat dilakukan pemerintah agar dapat mengatasi anomali. Solusi ini diharapkan dapat membuat insentif terserap lebih maksimal dan roda perekonomian dapat kembali pulih.
Pertama, pelonggaran PSBB agar bisnis bisa berjalan dan mobilitas orang serta barang dapat kembali terbuka. Langkah ini diharapkan dapat menggerakkan roda perekonomian dan prediksi baru terasa dampaknya pada kuartal III dan kuartal IV.
Kedua, perluasan klasifikasi lapangan usaha (KLU) penerima insentif. Ketiga, realokasi PPh 21 DTP dan bea masuk DTP. Realokasi ini tidak menambah pagu tetapi mengalihkan ke pos lainnya agar tidak sia-sia sehingga pemerintah bisa mendanai program lain.
Keempat, mengubah kemasan sosialisasi insentif kepada wajib pajak. Ada baiknya sosialisasi dikemas dengan mengajarkan strategi bagaimana UMKM dapat bertahan di masa pandemi dan diselipkan soal pemanfaatan insentif. Dianwicaksih menilai pelaku UMKM saat ini cenderung takut dengan perpajakan sehingga insentif tidak menjadi prioritas mereka. Menurutnya, mereka akan lebih tertarik bila terkait dengan keberlanjutan usaha di tengah pandemi.
Kelima, tax enforcement. Hal ini perlu dilakukan untuk meningkatkan sumber penerimaan pajak terutama menyasar sektor yang bertahan atau tumbuh saat pandemi. Misal, penegakan hukum terkait dengan PTE, PMSE, atau pajak daerah.
Keenam, tax reform terkait dengan lapisan penghasilan kena pajak (PKP). Dianwicaksih menilai lapisan PKP perlu ditinjau ulang seiring dengan bertambahnya jumlah usia produktif dan perkembangan ekonomi saat ini.
“Kalau lapisan [Rp500 juta] ini dinaikkan misalnya lebih dari 1 miliar, bisa jadi wajib pajak yang ada di layer paling atas akan meningkatkan konsumsi, saving atau investasinya,” ujar Dianwicaksih.
Sementara itu, Partner Research and Training Services B.Bawono Kristiaji menuturkan saat ini pemerintah berupaya memulihkan ekonomi nasional melalui beragam stimulus fiskal. Salah satunya terkait dengan insentif pajak.
Namun demikian, cara pemerintah untuk mempercepat penyaluran dana stimulus fiskal tersebut juga perlu disoroti, terutama terkait dengan ketepatan insentif.
“Krisis membuat konsumsi masyarakat yang biasanya menjadi determinan utama dalam GDP melemah, investasi tidak menggembirakan, dan perdagangan internasional juga lesu. Di sini, peran pemerintah diperlukan agar ekonomi bisa kembali pulih,” tuturnya.
Webinar ini merupakan seri terakhir dari 14 webinar yang diselenggarakan untuk menyambut HUT ke-13 DDTC yang jatuh pada 20 Agustus. Webinar ini diselenggarakan bersama 15 perguruan tinggi dari 26 perguruan tinggi yang telah menandatangani kerja sama pendidikan dengan DDTC. (rig)
Link Sumber : https://news.ddtc.co.id/penyerapan-insentif-pajak-belum-optimal-ini-solusi-dari-akademisi-23300?page_y=0